Kamis, 21 November 2013

teater sebagai sarana pendidikan

Teater untuk pendidikan adalah sebuah konsep yang luas.Konsep ini pertama -tama dipopulerkan oleh para aktivis pembebasandi Amerika Latin, khususnya teolog Augusto Boal. Boal melalui teateryang dikelolanya pada dasawarsa 60-an memfungsikan teater sebagaialat pengorganisasian, mobilisasi hingga media pencerahan bagiberjuta kaum miskin dari satu perkampungan ke perkampunganlainnya. Itu sebabnya di Brasil, teater menjadi momok yangmenakutkan bagi para jendral. Menurut junta pada saat itu, rakyat yangtercerahkan akan menjadi kekuatan maha dahsyat sehingga gerakankultural untuk pembebasan kaum tertindas perlu dihentikan Terinspirasi oleh teologi pembebasan yang dikembangkan olehFreire, Boal mengembangkan teater untuk pembebasan. Menurut Boal,ada dua macam teater kaum tertindas, yaitu pe rtama, teater yangdilakukan oleh para aktor profesional dan teater yang dipraktikkanoleh mereka yang tertindas di tingkat akar rumput. Yang terakhir inilahyang disebut teater untuk pembebasan atau teater untuk pendidikan.Dalam mempraktikkan teater untuk pembebasan, menggunakan prosespematangan melalui empat tahap workshops.Tahap pertama, pelatihan gerak tubuh untuk mempertebalkepekaan seluruh indera untuk menyempitkan perbedaan antaramerasakan dan menyentuh. Hal ini penting untuk mematerialkan apayang ada di benak setiap siswa yang terlibat dalam pelatihanpementasan ke dalam gerak diatas panggung.Tahap kedua adalah bagaimana seorang aktor berlatih untukmengucapkan bahasa tubuh dan indera yang selanjutnya dipolitisasimelalui tema-tema sosial yang dipilih yang menghasilkan repertoarrepertoar(sandiwara) yang beraneka ragam. Repertoar-repertoartersebut disadari atau tidak seringkali mengkritisi serta mengulas teoriteoribesar, ataupun pemikiran keseharian, yang tidak perludisampaikan oleh seorang profesor doktor. Tahap ini sangat membantumemberikan pendidikan sosial yang mencerdaskan. Baik bagi siswayang mengikiti pelatihan itu sendiri maupun bagi penonton yangmenyaksikan pementasan tersebut. Karena dalam pementasan ada proses interaksi antara pemain (aktor) kepada penonton (audience)baik secara langsung maupun tidak langsung.Tahap ketiga, bersama-sama mengeksplorasi pakem-pakemberteater yang ada untuk menciptakan kekinian, bukan memerankanlakon-lakon yang telah ada dan dapat diubah. Disini para pekerja seniteater di tuntut untuk lebih kreatif dengan inovasi-inovasi baru yangmengacu pada kemajuan zaman. Artinya bagaimana konseppementasan teater ini lebih bisa diterima oleh masyarakat luas, terlebihpada program pendidikan yang ada disekolah-sekolah formal yang saatini banyak sekali perkembangan konsep pendidikan.Tahap keempat, setiap peserta workshop benar-benar menjadipelakon, penulis scenario sekaligus sebagai Sutradara, yangmengkomunikasikan sekaligus membahas isu-isu permasalahan sosialyang ada di media massa sehingga bagi penonton teater ini lebihdikenal sebagai teater koran (newspaper theatre). Dalam tahapini juga muncul Teater Tak Kasat Mata (Invisible Theatre) dimana teater dilakukan di ruang publik seperti di jalan raya, pasar atauterminal untuk menarik perhatian mereka yang lalu-lalang di sekitarpementasan. Teater untuk pendidikan dapat disebut sebagai teater rakyatatau teater tradisional. Sebaliknya, teater rakyat atau teater tradisionaltidak identik dengan teater untuk pendidikan. Mengapa? Sebab, teater rakyat atau teater tradisional tidak selalu berorientasi kepadapendidikan. Teater tradisional seperti ludruk, ketoprak, wayang,Jaipongan, dan opera Batak yang bersifat tontonan-hiburan, misalnya,adalah juga teater rakyat. Pada masa Orde Baru, wayang dan Ketoprakkerap dimanfaatkan untuk tujuan propaganda atau kampanye, misalnyaKeluarga Berencana, pemberian ASI (Air Susu Ibu), dan seterusnya.Pada dasarnya, setiap bentuk teater yang berorientasi kepadasuatu proses pemberdayaan (empowerment) baik yang bersifatpenyadaran, mengembangkan sikap kritis, sosialisasi pengetahuan dannilai-nilai tertentu maupun pengembangan komunitas ataupersekutuan, adalah teater untuk pendidikan. Dalam konsep teater ini,penciptaan teater adalah proses saling belajar yang partisipatif. Seluruhtahapan teater, seperti penciptaan cerita atau skenario (yang tidakselalu tertulis), seleksi pemain, latihan peran, ilustra si musik, dansutradara dilakukan oleh komunitas. Tentu saja, tahapan-tahapan inibukanlah proses yang lancar untuk dilalui. Terutama bagi komunitaspelajar dengan intensitas pertemuan yang rendah dan tingkatpengetahuan tentang teater yang masih nol atau sebagai pemula, untukmenemukan dan menggali gagasan yang akan di tungakan dalam ceritabukanlah peroses yang mudah karena proses ini melibatkan aspekspiritual, moral, emosional, maupun sosial karena itu memerlukansiasat tersendiri untuk sampai pada tuju an yang diharapkan. Teater memiliki pendekatan multi-dimensi sebagai suatumetode dalam pendidikan yakni pendekatan konseptual-tekstual danfigural/pelukisan. Pendekatan konseptual-tekstual mencakuppengolahan pesan yang bertolak dari teks-teks kitab suci, cerita -ceritarakyat, mitos-mitos serta penggalian dan analisis atas realitas sosialdan pengalaman hidup yang dijalani. Sedangkan pendekatan figuralmencakup aktualisasi pesan dalam cerita, seni peran maupundekorasi. Karena pendekatan multi-dimensi ini, teater jauh lebih mampuuntuk proses penyadaran, pembebasan dan mengembangkankomunitas/persekutuan. Apresiasi terhadap kehidupan, kepekaanterhadap diri dan komunitas serta daya imajinasi semakin dilebarkandan dihidupkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar