Teater untuk pendidikan adalah sebuah konsep yang luas.Konsep ini
pertama -tama dipopulerkan oleh para aktivis pembebasandi Amerika Latin,
khususnya teolog Augusto Boal. Boal melalui teateryang dikelolanya pada
dasawarsa 60-an memfungsikan teater sebagaialat pengorganisasian,
mobilisasi hingga media pencerahan bagiberjuta kaum miskin dari satu
perkampungan ke perkampunganlainnya. Itu sebabnya di Brasil, teater
menjadi momok yangmenakutkan bagi para jendral. Menurut junta pada saat
itu, rakyat yangtercerahkan akan menjadi kekuatan maha dahsyat sehingga
gerakankultural untuk pembebasan kaum tertindas perlu dihentikan
Terinspirasi oleh teologi pembebasan yang dikembangkan olehFreire, Boal
mengembangkan teater untuk pembebasan. Menurut Boal,ada dua macam teater
kaum tertindas, yaitu pe rtama, teater yangdilakukan oleh para aktor
profesional dan teater yang dipraktikkanoleh mereka yang tertindas di
tingkat akar rumput. Yang terakhir inilahyang disebut teater untuk
pembebasan atau teater untuk pendidikan.Dalam mempraktikkan teater untuk
pembebasan, menggunakan prosespematangan melalui empat tahap
workshops.Tahap pertama, pelatihan gerak tubuh untuk mempertebalkepekaan
seluruh indera untuk menyempitkan perbedaan antaramerasakan dan
menyentuh. Hal ini penting untuk mematerialkan apayang ada di benak
setiap siswa yang terlibat dalam pelatihanpementasan ke dalam gerak
diatas panggung.Tahap kedua adalah bagaimana seorang aktor berlatih
untukmengucapkan bahasa tubuh dan indera yang selanjutnya
dipolitisasimelalui tema-tema sosial yang dipilih yang menghasilkan
repertoarrepertoar(sandiwara) yang beraneka ragam.
Repertoar-repertoartersebut disadari atau tidak seringkali mengkritisi
serta mengulas teoriteoribesar, ataupun pemikiran keseharian, yang tidak
perludisampaikan oleh seorang profesor doktor. Tahap ini sangat
membantumemberikan pendidikan sosial yang mencerdaskan. Baik bagi
siswayang mengikiti pelatihan itu sendiri maupun bagi penonton
yangmenyaksikan pementasan tersebut. Karena dalam pementasan ada proses
interaksi antara pemain (aktor) kepada penonton (audience)baik secara
langsung maupun tidak langsung.Tahap ketiga, bersama-sama mengeksplorasi
pakem-pakemberteater yang ada untuk menciptakan kekinian, bukan
memerankanlakon-lakon yang telah ada dan dapat diubah. Disini para
pekerja seniteater di tuntut untuk lebih kreatif dengan inovasi-inovasi
baru yangmengacu pada kemajuan zaman. Artinya bagaimana konseppementasan
teater ini lebih bisa diterima oleh masyarakat luas, terlebihpada
program pendidikan yang ada disekolah-sekolah formal yang saatini banyak
sekali perkembangan konsep pendidikan.Tahap keempat, setiap peserta
workshop benar-benar menjadipelakon, penulis scenario sekaligus sebagai
Sutradara, yangmengkomunikasikan sekaligus membahas isu-isu permasalahan
sosialyang ada di media massa sehingga bagi penonton teater ini
lebihdikenal sebagai teater koran (newspaper theatre). Dalam tahapini
juga muncul Teater Tak Kasat Mata (Invisible Theatre) dimana teater
dilakukan di ruang publik seperti di jalan raya, pasar atauterminal
untuk menarik perhatian mereka yang lalu-lalang di sekitarpementasan.
Teater untuk pendidikan dapat disebut sebagai teater rakyatatau teater
tradisional. Sebaliknya, teater rakyat atau teater tradisionaltidak
identik dengan teater untuk pendidikan. Mengapa? Sebab, teater rakyat
atau teater tradisional tidak selalu berorientasi kepadapendidikan.
Teater tradisional seperti ludruk, ketoprak, wayang,Jaipongan, dan opera
Batak yang bersifat tontonan-hiburan, misalnya,adalah juga teater
rakyat. Pada masa Orde Baru, wayang dan Ketoprakkerap dimanfaatkan untuk
tujuan propaganda atau kampanye, misalnyaKeluarga Berencana, pemberian
ASI (Air Susu Ibu), dan seterusnya.Pada dasarnya, setiap bentuk teater
yang berorientasi kepadasuatu proses pemberdayaan (empowerment) baik
yang bersifatpenyadaran, mengembangkan sikap kritis, sosialisasi
pengetahuan dannilai-nilai tertentu maupun pengembangan komunitas
ataupersekutuan, adalah teater untuk pendidikan. Dalam konsep teater
ini,penciptaan teater adalah proses saling belajar yang partisipatif.
Seluruhtahapan teater, seperti penciptaan cerita atau skenario (yang
tidakselalu tertulis), seleksi pemain, latihan peran, ilustra si musik,
dansutradara dilakukan oleh komunitas. Tentu saja, tahapan-tahapan
inibukanlah proses yang lancar untuk dilalui. Terutama bagi
komunitaspelajar dengan intensitas pertemuan yang rendah dan
tingkatpengetahuan tentang teater yang masih nol atau sebagai pemula,
untukmenemukan dan menggali gagasan yang akan di tungakan dalam
ceritabukanlah peroses yang mudah karena proses ini melibatkan
aspekspiritual, moral, emosional, maupun sosial karena itu
memerlukansiasat tersendiri untuk sampai pada tuju an yang diharapkan.
Teater memiliki pendekatan multi-dimensi sebagai suatumetode dalam
pendidikan yakni pendekatan konseptual-tekstual danfigural/pelukisan.
Pendekatan konseptual-tekstual mencakuppengolahan pesan yang bertolak
dari teks-teks kitab suci, cerita -ceritarakyat, mitos-mitos serta
penggalian dan analisis atas realitas sosialdan pengalaman hidup yang
dijalani. Sedangkan pendekatan figuralmencakup aktualisasi pesan dalam
cerita, seni peran maupundekorasi. Karena pendekatan multi-dimensi ini,
teater jauh lebih mampuuntuk proses penyadaran, pembebasan dan
mengembangkankomunitas/persekutuan. Apresiasi terhadap kehidupan,
kepekaanterhadap diri dan komunitas serta daya imajinasi semakin
dilebarkandan dihidupkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar